A. ANALISIS
STRUKTUR
No
|
Struktur teks
|
Kalimat dalam teks
|
1.
|
Abstrak
|
Di masa
kanak-kanak, rumah kami selalu kebanjiran amplop. Ruang tamu, laci-laci ruang
kerja papa, lemari pakaian mama, hingga rak-rak dapur, penuh-sesak oleh
amplop dari berbagai rupa, warna, dan ukuran. Setelah mama dan papa
mengamankan isi dari amplop-amplop yang berserakan itu, kami akan melepaskan
lipatan-lipatan kertasnya, lalu mengguntingnya sesuai pola-pola yang kami
sukai. Hingga suatu hari kami bersepakat memberi nama tempat tinggal kami
dengan “rumah amplop”. Rumah tempat beralamatnya amplop yang datang dari
berbagai penjuru. Rumah yang makin bercahaya, seiring dengan makin
berhamburannya amplop ke dalamnya.
Barangsiapa
yang dengan sadar dan sengaja menaruh uang alakadar di amplop yang bakal
diantar ke rumah kami, akan membuat papa jadi murka. Urusannya pasti panjang,
dan tentu akan dipersulit. Izin proyek bakal terganjal. Meskipun begitu,
setiap amplop yang sudah tergeletak di rumah kami, mama dan papa pantang
mengembalikannya, hingga pada suatu ketika, para pengirim amplop itu
menyebut kami sebagai “keluarga kecil pemakan segala”. Besar kami makan,
kecil juga kami telan. Seolah-olah mulut mama dan papa begitu besar, bagai
mulut buaya lapar yang senantiasa menganga, menyambut kedatangan
amplop-amplop, tapi selama bertahun-tahun tak pernah mengenyangkan perut
mereka.
|
2.
|
Orientasi
|
Bila
jalan-jalan di setiap sudut kota rusak dan berlubang, bahkan ada yang sudah
tak layak tempuh, itu bukan karena ulah mobil-mobil besar yang kerap
melindasnya, tapi karena mobil-mobil kecil. Betapa tidak? Setiap kali papa
terlibat dalam proyek pembangunan jalan, mama akan merengek-rengek manja
minta hadiah mobil mewah keluaran terbaru. Dan, atas nama cintanya, diam-diam
papa akan memerintahkan pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal,
memendekkan jalan yang seharusnya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh,
dan semua hasil penyunatan anggaran itu ia gunakan untuk membeli mobil mewah
permintaan mama. Bukankah sedan itu mobil berukuran kecil? Nah, itu sebabnya
kami katakan bahwa yang merusak jalan bukan truk atau bis, tapi koleksi mobil
mewah yang kini terparkir di garasi rumah kami.
|
3.
|
Komplikasi
|
Dulu,
papa orang baik-baik. Anak patuh. Cerdas. Jujur. Bertanggungjawab. Namun,
selepas menyandang gelar sarjana dari sebuah universitas ternama, nenek dan
kakek terus-menerus mendorong agar ia bisa menjadi pegawai negeri sipil.
Sebab, di kampung papa, cita-cita menjadi abdi-negara hampir-hampir sama
mulianya dengan cita-cita masuk sorga di akhirat kelak. Oleh karena
itu, nenek melelang harta-benda, Menggunakan segala cara adalah sah
demi cita-cita luhur itu.
Wak
Odang (kakak kandung nenek), marah besar lantaran perbuatan menyuap yang
dilakukan adik kandungnya, guna meloloskan papa menjadi pegawai negeri. sejak
peristiwa suap yang dilakukan secara buka-bukaan itu, silsilah papa sebagai
orang baik-baik dipenggal. Watak kebaikan dalam diri papa telah disembelih.
Bukan oleh orang lain, tapi oleh ibu-bapaknya sendiri. Dulu, Wak Odang amat
bangga pada prestasi-prestasi yang diraih papa. Betapa tidak? Sejak sekolah
dasar hingga sekolah menengah, keponakan kesayangannya itu selalu terpilih
sebagai siswa teladan.
|
4.
|
Evaluasi
|
Wak
Odang tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarga papa. Lantaran tidak
berhasil membendung ambisi nenek dan kakek, ia mundur teratur. Apapun urusan
keluarga besar papa ia tak pernah ikut campur lagi. Kakak-beradik telah
pecah-kongsi, sudah berkerat-rotan, begitu orang-orang kampung menyebutnya.
Sukra, keponakan yang sangat disayanginya, dibanggakannya, kini harus
dilupakannya. Sudah tak terhitung banyaknya bantuan dan sumbangan yang
diberikan papa untuk orang-orang di kampung.
Sepeser
pun Wak Odang tak sudi mencicipi kekayaan papa. Wak Odang seolah-olah tahu
dari mana sumber keberlimpahan di rumah amplop kami. Di matanya, kami lebih
kotor dari najis, yang akan membatalkan wudhu’nya. Kami sangat
malu bertemu dengannya.
|
5.
|
Resolusi
|
Namun,
rumah amplop kini sudah sepi. Setahun lalu, papa mengajukan permohonan
pensiun muda. Ia ingin berkiprah membangun kampung halamannya. Sebagai putra
daerah, papa ambil bagian dalam pemilihan Walikota. Agar predikat papa
sebagai putra daerah semakin sempurna, hingga dapat menangguk
sebanyak-banyaknya suara. Maka, tanpa ragu-ragu, papa mempersunting gadis
desa bernama Nurjannah, seusia anaknya. Berbuih-buih mulut papa meyakinkan
mama bahwa pernikahan itu tak lebih dari pernikahan sandiwara demi mendulang suara,
agar ia memenangkan pemilihan Walikota. Entah karena jengkel, atau barangkali
karena sangat maklum pada watak kemaruk papa, mama menyikapinya dengan amat
santai. “Silahkan saja. Tapi sebaiknya kita berpisah saja!” Kami pikir inilah
kesempatan mama melepaskan diri dari genggaman papa.
|
6.
|
Koda
|
Besar
kami makan, kecil juga kami telan. Seolah-olah mulut mama dan papa begitu
besar, bagai mulut buaya lapar yang senantiasa menganga, menyambut kedatangan
amplop-amplop, tapi selama bertahun-tahun tak pernah mengenyangkan perut
mereka
diam-diam
papa akan memerintahkan pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal,
memendekkan jalan yang seharusnya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh,
dan semua hasil penyunatan anggaran itu ia gunakan untuk membeli mobil mewah
permintaan mama.
“Bersekongkol
untuk menghancurkan masa depannya? Tak akan selamat hidupnya. Yang bermula
dari ketidakjujuran akan berakhir dengan ketidakjujuran pula. Tanggunglah
akibatnya nanti!” bentak Wak Odang.
Dulu,
para pengirim amplop diam-diam menyebut papa sebagai manusia pemakan segala, kini papa sering digunjingkan
teman-teman arisan mama sebagai penjahat
pemanjat segalanya…
|
B. GAYA BAHASA/MAJAS
No
|
Gaya bahasa
|
Kalimat dalam cerpen
|
1.
|
Hiperbola
|
-Di masa kanak-kanak, rumah kami selalu kebanjiran
amplop.
|
2.
|
Repetisi
|
-penuh-sesak
oleh amplop
|
3.
|
Asosiasi atau perumpamaan
|
-Seolah-olah
mulut mama dan papa begitu besar, bagai mulut buaya lapar yang senantiasa
menganga
|
4.
|
Alegori
|
-Besar kami
makan, kecil juga kami telan.
|
5.
|
Sinisme
|
-“Kesempatan
untuk menjerumuskannya, maksudmu?”
-silsilah Sukra
sebagai anak baik-baik telah terpenggal sejak ia dipegawai-negerikan dengan
uang pelicin
-silsilah Papa
sebagai lelaki setia telah terpenggal sejak ia menceraikan Mama
|
6.
|
Sarkasme
|
-“Tahu apa kau
soal masa depan?”
|
C. NILAI-NILAI YANG TERDAPAT DALAM CERPEN
1. Nilai moral
diam-diam papa akan memerintahkan
pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal, memendekkan jalan yang
seharusnya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh, dan semua hasil
penyunatan anggaran itu ia gunakan untuk membeli mobil mewah permintaan mama.
· Di dalam kalimat di atas,
mengandung nilai moral yang berati kita
harus selalu jujur dalam melakukan sesuatu.
Menurut Wak Odang (kakak kandung
nenek), sejak peristiwa suap yang dilakukan secara buka-bukaan itu, silsilah
papa sebagai orang baik-baik dipenggal.
· Dalam kalimat di atas mengandung
nilai moral dimana kita tidak harus melakukan penyuapan untuk menggapai
sesuatu.
2.
Nilai pendidikan
Menggunakan segala cara adalah
sah demi cita-cita luhur itu.
·
Dalam
kalimat ini mengandung nilai pendidikan yaitu kita harus berjuang keras dalam
meraih cita-cita.
.3. Nilai sosial
Wak Odang marah besar
lantaran perbuatan menyuap yang dilakukan adik kandungnya, guna meloloskan papa
menjadi pegawai negeri.
· Dalam kalimat di atas mengandung
nilai sosial dimana kita tidak harus melakukan penyuapan untuk menggapai
sesuatu.
Sudah tak terhitung banyaknya
bantuan dan sumbangan yang diberikan papa untuk orang-orang di kampung. Sekolah
dibangun, masjid direnovasi, jalan diperbaiki, hingga nama papa begitu harum.
·
Dalam
kalimat di atas mengandung nilai sosial dimana kita harus saling mambantu.
D. KATA-KATA SULIT DALAM CERPEN
No
|
Kata dalam cerpen
|
Artinya
|
1.
|
Direhab
|
diperbaiki
|
2.
|
Ambisi
|
keinginan
(hasrat, nafsu)
|
3.
|
Subhat
|
sesuatu
yang tidak jelas halalnya ataupun haramnya
|
4.
|
Simpatisan
|
orang
yg bersimpati (kpd partai politik dsb)
|
5.
|
Predikat
|
nama,
gelar kehormatan
|
6.
|
Menangguk
|
menangkap
(ikan dsb) dng tangguk
|
7.
|
![]() |
melimbang
emas, intan, atau bijih dng dulang
|
8.
|
Kemaruk selalu ingin makan
|
|
9.
|
Birokrat pegawai yg
bertindak secara birokratis
|
E. ALUR
1. Plausibilitas
Namun,
selepas menyandang gelar sarjana dari sebuah universitas ternama, nenek dan
kakek terus-menerus mendorong agar ia bisa menjadi pegawai negeri sipil. Selain
hidup bakal terjamin, barangsiapa yang telah mengantongi SK pegawai negeri
sipil, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan selekasnya naik-kasta. Dari
keluarga yang biasa-biasa saja, berubah menjadi keluarga yang berlimpah puji
dan puja.(kemasuk akalan tentang keistimewaan kehidupan para pengawai sipil).
nenek
melelang harta-benda, tiga kapling tanah warisan, lima bidang ladang,
mengumpulkan uang pelicin guna meluluskan anaknya sebagai pegawai negeri.
(kemasuk akalan tentang susahnya menjadi pengawai negeri dan proses suap
menyuap yang biasa terjadi).
2. SUSPENS
Dulu,
papa orang baik-baik. Anak patuh. Cerdas. Jujur. Bertanggungjawab. Setidaknya
begitu cerita yang kami dengar dari salah seorang kerabat saat kami
diajak pulang kampung. (menimbulkan rasa ingin tahu tentang bagaimana
watak sukra bisa berubah).
3. SURPRISE
Setahun
lalu, papa mengajukan permohonan pensiun muda. Ia ingin berkiprah membangun
kampung halamannya. Sebagai putra daerah, papa ambil bagian dalam pemilihan
Walikota.
Maka,
tanpa ragu-ragu, papa mempersunting gadis desa bernama Nurjannah, seusia
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar