disusun oleh : Siti Nurjannah
semoga dapat membantu ^_^
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah suatu hak yang
dimiliki oleh seseorang yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Di dalam
kalangan masyarakat dan negara-negara tertentu tidak terkecuali Indonesia
kadang menimbulkan kecurigaan, ketidak mengertian bahkan menimbulkan antipati
terhadap penerimaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan persepsi yang masih tersisa
ini yang membuat masyarakat tersebut seolah apriori difunsif di dalam beberapa
hal berkaitan penerimaannya terhadap Hak Asasi Manusia. Sikap ini cukup wajar
dan merupakan masalah-masalah yang cukup serius dan bahkan menjadi penghambat
perjalanan hak asasi manusia yang kini berkembang dan menjadi masalah yang
sangat penting. Karena, konsep Hak Asasi Manusia menempatkan manusia pada
posisi multi dimensional seperti yang disepakati dalam Deklarasi Wina (1993)
bahwa manusia adalah sebagai sentral dalam pembangunan (the human person is the central subject of development).
Istilah hak asasi merupakan
terjemahan dari droit de l’homme (Prancis),
human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di
Indonesia istilah hak asasi lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi”
sebagai terjemahan dari Basic Right
(Inggris) dan grondrechten (Belanda),
atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil
rights). Istilah hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan
Revolusi Prancis tahun 1789 dalam “Declaration
des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga
prancis), dengan semboyan Liberte,
Egalite, dan Fraternite. Namun
demikian, sebenarnya masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan
manusia di permukaan bumi.
Jika berbicara mengenai hak asasi
manusia dewasa ini tentu tak terlepas dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
terutama hak-hak politik. Politik merupakan bagian dari demokrasi yang mana
sekarang ini sedang digalakkan untuk menciptakan negara yang benar-benar
berdasarkan demokrasi. Hak seseorang untuk ikut dalam suatu kegiatan politik
telah diatur dalam beberapa pasal dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa
seseorang berhak untuk dipilih dan memilih sebagai salah satu esensi dari
negara demokrasi. Dengan demikian, pengakuan terhadap aspek-aspek demokrasi
terutama dalam hal politik merupakan hal yang diterima dalam aturan-aturan baik
nasional maupun internasional mengenai hak-hak asasi manusia. Namun jika
dilihat kenyataannya, tidak semua orang mendapatkan kesempatan dalam hal
politik. banyak orang yang berusaha untuk membuat negara ini maju malah terhalangi
oleh mekanisme yang berbelit-belit dan sangat sulit sehingga tidak mampu lagi
untuk melanjutkannya. Salah satu hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah
adanya proses kolusi dalam pelaksanaan politik yang katanya berdasarkan asas
demokrasi tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran
hak asasi manusia juga mengalami hal yang sama. Dengan banyaknya kasus-kasus
pelanggaran HAM yang tersebar ke seluruh penjuru negeri, kurang dari 20 persen
yang ditindaklanjuti oleh aparatur penegak hukum. Beberapa lembaga yang menjadi
pelindung terhadap pelanggaran semacam itu tampaknya hanya bersikap pasif dalam
hal upaya penegakan hak asasi manusia.
Banyak cara untuk menegakkan hak
asasi manusia. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan kembali lembaga-lembaga
pelindung terhadap HAM yang tertidur beberapa tahun belakangan ini. Dengan
adanya lembaga tersebut maka diharapkan mampu menanggulangi banyaknya kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana upaya penengakan kasus HAM
di pengadilan?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana upaya penengakan kasus HAM di pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Jenis Hak
Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi
Manusia (HAM) sering disebut
sebagai human right, dan dipahami banyak orang secara keliru. HAM hanya
diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, HAM lebih luas daripada
kebebasan atau kebebasan itu hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik HAM lebih
mudah dipahami daripada dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan sebagai
hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa
hak dasar itu manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya
sebagai manusia. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39
tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1
ayat (1), HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Pada setiap
hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban
asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita
wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga
dimiliki oleh orang lain.
Dalam
pelaksanaanya, Hak Asasi Manusia (HAM) dibagi atas berbagai jenis. Berikut ini
pembagian jenis Hak Asasi Manusia dunia, diantaranya:
- Hak asasi pribadi / Personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
- Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
- Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
- Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
- Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
- Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
B. Pengadilan
HAM
Pengadilan hak asasi manusia di
Indonesia dibentuk berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak
asasi manusia. Pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang
berada dilingkungan pengadilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau
kota. Untuk daerah khusus ibu kota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di
setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Adapun tugas dan wewenag
pengadilan HAM adalah sebagai berikut:
1. Memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
2. Memriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas
territorial wilayah Negara RI oleh WNI
3. Pengadilan
HAM tidak berwenang mengadili seseorang yang berumur di bawah 18 tahun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 yang
mengatur tentang pengadilan HAM
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
- Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
- Perbudakan adalah status atau kondisi seseorang yang terhadapnya dilakukan sesuatu atau semua kekuasaan yang berasal dari hak kepemilikan.
- Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
BAB II KEDUDUKAN
DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian
Pertama Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan
Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang dibentuk di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian
Kedua Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan
Hak Asasi Manusia berkedudukan di Kota atau Ibukota Kabupaten, dan daerah
hukumnya sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III LINGKUP
KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan
Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berupa :
a.
pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku
bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau
cacat mental atau fisik dengan :
- melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut;
- melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat pada anggota kelompok;
- menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik;
- memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau
- memindahkan dengan paksa anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.
b.
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan;
c.
penghilangan orang secara paksa;
d.
perbudakan;
e.
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis;
f.
penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang
mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental
dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengakuan baik dari yang
bersangkutan maupun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang
bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif
dalam segala bentuknya.
Pasal 5
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf a, di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 2 (dua)
tahun.
Pasal 6
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf b dan c, di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun.
Pasal 7
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan berupa perbudakan atau melakukan
perbuatan diskriminasi yang dilakukan secara sistematis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf d dan e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 8
Setiap
pejabat yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f
dipidana dengan pidanan mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanan penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.
Pasal 9
- Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia dan atau ahli warisnya berhak mendapatkan ganti kerugian.
- Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN PERKARA
Bagian
Pertama Penyidikan
Pasal 10
- Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
- Dalam hal-hal tertentu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk suatu Tim yang bersifat Ad Hoc.
Pasal 11
- Hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan penyidikan.
- Hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bukti permulaan yang cukup untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan.
- Dalam hal hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh penyidik dinilai masih kurang lengkap penyelidik wajib melengkapi.
Bagian Kedua: Penyidikan dan
Penuntutan
Pasal 12
Penyidikan dan penuntutan
perkara pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh dan
di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 13
- Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib diselesaikan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima.
- Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
- Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyidikan belum selesai, wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
- Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dilakukan kembali apabila ditemukan bukti baru.
Pasal 14
Penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 wajib dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pasal 15
Dalam hal tidak terdapat
alasan yang cukup kuat untuk mengajukan perkara pelanggara hak asasi manusia ke
pengadilan, Jaksa Agung dapat melakukan penghentian penuntutan atau
pengesamping perkara.
Pasal 16
Komisi, Nasional Hak Asasi
Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan kepada Jaksa Agung mengenai
perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 17
Ketentuan mengenai
kewenangan atasan yang berhak menghukum dan perwira penyerah perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketiga: Pemeriksaan
Perkara
Pasal 18
- Pengadilan Hak Asasi Manusia memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan Hakim Majelis.
- Dalam hal tertentu, pada Pengadilan, Hak Asasi Manusia dapat diangkat Hakim Ad Hoc.
- Pengangkatan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan atas usul Ketua Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 19
Terhadap putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat dimintakan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung.
Pasal 20
Dalam hal tidak ditentukan
lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia dilakukan
dengan ketentuan hukum acara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 21
Pengadilan Hak Asasi Manusia
berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggarran hak asasi manusia di
luar kehadiran terdakwa.
Pasal 22
Untuk pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
ini tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluarsa.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
- Untuk pertama kali pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Pengadilan Negeri Jakar ta Pusat.
- Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonensia.
Pasal 24
Terhadap pelanggara hak
asasi manusia yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah
Pengganti Udang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonensia.
Pengadilan
HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang mengadili Pelanggaran HAM yang berlaku
sebalum di undangkannya UU No. 26 tahun 2000. pengadilan HAM Ad Hoc di bentuk
atas usul DPR dengan keputusan Presiden.
Adapun pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh pengadilan HAM berupa: Kejahatan
Genosida, kejahatan terhadap kemanusian.
C. Hambatan Dan
Tantangan Pengadilan Dalam Menengakkan HAM
1.
Hambatan
Masalah HAM masih saja di
bicarakan, karena masih banyak pelanggaran atau kepalsuan. Masalah HAM memang
masalah kemanusiaan berarti terkait dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat
kemanusiaan tetapi yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaanyang
dimiliki setiap orang dapat dimiliki oleh setiap individu tanpa beda. Upaya
penegakan HAM di Indonesia, masih banyak hambatan-hambatan yang di hadapi
antara lain sebagai berikut:
a. Rendahnya
kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan pelanggaran HAM yang
terjadi baik mengenai dirinya maupun pihak lain.
b. Belum
optimalnya kemampuan para hakim di peradilan HAM ad hoc.
c. Keterbatasan
kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM.
d. Masalah
hakim,ternyata tidak begitu mudah menentukan para calon hakim ad hoc diluar hakim karir, meskipun
sampai sekarang sudah begitu lantang orang berbicara tentang pelanggaran HAM
dan banyak pelatihan dan penanaman HAM. LSM HAM pun ternyata tak banyak yang
tersrdia. Banyak tokoh-tokoh HAM yang terikat oleh tugas dilembaga lain.
e. Sulitnya
mencari Jaksa sebagai penuntut umum sebab hanya orang yang berpengalaman
penuntut saja yang diangkut atau kata lainnya sifatnya tertutup.
f. Masalah
pembahasan acara peradilan yang belum tuntas, masih tersisa pertanyaan banding
dan langsung saja dari peradilan tingkat pertama langsung ke MA.
2.
Tantangan
Dalam menegakkan HAM, selain hambatan masih banyak
tantangan yang di hadapi antara lain sebagai berikut:
a.
Dengan disahkannya UU no 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ditegaskan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi
sebelum UU No 26 disahkan tidak dapat diadili berdasarkan prinsip hak asasi
manusia, sehingga peristiwa pelanggaran HAM yang besar tidak mungkin lagi dapat
diselesaikan berdasarkan peradilan HAM ad
hoc, misalnya;
1)
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti pada bulan Mei
1998
2)
Pembantaian warga muslim Tanjung Priuk pada bulan 1994
3)
Kasus Pembantai di Ambon dan di Poso tahun 1997
1. Dengan
adanya amandemen UUD 45 Pasal 28 tentang larangan hukum berlaku surut
memungkinkan para tersangka luput dari proses hukum acara,akan sangat tidak
adil hukum itu.
2. Asas
mengatur bahwa orang yang telah dihukum oleh pengadilan HAM tidak dapat lagi
dituntut oleh pengadilan pidana biasa. Namun keterbatasan lingkup pengadilan
HAM yang haknya sebatas pada genosida
(pembantaian masal) dan kejahatan melawan kemanusiaan, mengakibatkan ada
unsur-unsur yang tidak terpenuhi.
D.
Penegakan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia
Pengakuan terhadap HAM bagi
setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu.
Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa
negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa
banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya
sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes,
adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu
kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM)
berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropa.
HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan
sewenang-wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan lagi
milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali.
Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration
of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Realitas sosial berbagai kasus pelanggaran berat HAM, penyelesaiannya
seringkali tidak berpihak kepada korban, sebaliknya penyelesaiannya dilakukan
justru untuk melindungi pelaku, seperti pemberian amnesti yang dilakukan oleh
para penguasa militer di Argentina dan Chili pada tahun 1970-an.
Walaupun telah dilakukan
berbagai upaya yang mengatur prinsip-prinsip HAM, namun pembatasan dan
pelanggaran terhadap HAM terus terjadi.
Di Indonesia sendiri, pelanggaran
HAM berat yang melibatkan Dewan Keamanan PBB, salah satunya adalah persoalan
kekerasan di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi setelah Pemerintah RI
mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur, yaitu menerima atau
menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 15 September 1999
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan kekerasan
sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri
mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan
tersebut. Desakan itu kemudian
melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai upaya menangani kasus
pelanggaran berat HAM di Timor-Timur,
Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus
pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Selain itu pemerintah
juga telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara perlindungan terhadap
korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM. Di samping itu telah diatur pula
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat
HAM.
Yurisdiksi atau
kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama dengan yurisdiksi
Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26
Tahun 2000). Akan tetapi pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran
HAM berat yang dilakukan seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun. Kalaupun
anak yang bersangkutan melakukan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian, tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan
didasari KUHP dan KUHAP.
Mekanisme penyelesaian
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of
local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan
HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai
perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang
bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum
nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili. Ukuran
ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17
ayat (3) Statuta Roma adalah:
1.
Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan
atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban
pidana;
2.
Terjadi
keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3.
Proses
peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4.
Apabila
ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial
tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan
tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan
proses peradilan.
Peradilan HAM harus berdiri sendiri (independen) sejajar dengan Mahkamah
Agung, karena yang akan diadili dalam pengadilan HAM tersebut adalah Para
Penguasa, para Pembuat Kebijakan yang melakukan penindasan terhadap
kemanusiaan. Jika Peradilan HAM masih berada di bawah Peradilan Umum, maka yang
terjadi adalah pembodohan hukum.
Ibarat makan buah simalakama, tidak dimakan bapak mati jika dimakan ibu mati,
akhirnya banyak kasus-kasus pelanggaran berat HAM terkatung-katung dan raib
tanpa ujung. Kebijakan menempatkan pengadilan HAM berada di bawah lingkup
pengadilan umum, sama saja artinya kita memandang pelanggaran HAM sebagai
kejahatan biasa seperti pembunuhan, pencurian, penganiayaan dan sebagainya.
Fiedman berkata bahwa sistem hukum dibangun atas 3 landasan dasar utama,
yaitu: strutural, substansi dan budaya hukum. Indonesia sebagai negara hukum
yang berdasarkan atas hukum dengan prinsip the rule of law, mestinya
benar-benar membangun hukum atas 3 landasan dasar tersebut, dibarengi dengan
mekanisme kontrol baik secara internal ataupun eksternal. Dosa terbesar yang
pernah dibuat bangsa ini adalah menjadikan hukum sebagai kepentingan dan alat
untuk rekayasa sosial tanpa dilandasi “behavior” yang baik, sehingga kita
menjadi pecundang, pengkhianat keadilan terhadap manusia dan kemanusiaan. Upaya
agar HAM tetap dihormati, tidak dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara
nasional, regional maupun internasional, maka penegakan hukum melalui mekanisme
peradilan baik nasional maupun internasional adalah langkah bijak terhadap
penghormati HAM. Baik di tingkat nasional, regional maupun internasional,
peradilan HAM adalah peradilan khusus, menyangkut instrumen khususnya maupun
institusi dan proses peradilannya. Hal ini dikarenakan pelanggaran atau
kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi merupakan Extra
Ordinary Crime. Pelanggaran berat HAM
dikatakan Extra Ordinary Crime, disebabkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
1.
Pola tindak pidana yang sangat sistematis dan
dilakukan oleh pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa
diadili jika kekuasaan itu runtuh.
2.
Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan
secara mendalam dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan
derajat kemanusiaan.
3.
Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar
penegakan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena kalau dulu
pelanggaran HAM sering ditujukan kepada hak Sipol, maka sekarang pelanggaran
HAM yang paling berbahaya adalah pelanggaran HAM di bidang Ekosob, karna
berdampak secara global dan menyeluruh, perlahan tapi pasti menggerogoti
seluruh sendi kehidupan, baik makro maupun mikro organisme, baik yang tersentuh
langsung atau pun tidak langsung, akan ikut memikul beban risiko dari
pelanggaran HAM tersebut.
Sangat diharapkan kedepannya penegakan hak asasi
manusia dapat berjalan dengan baik dengan mengutamakan hak-hak korban, karena
menjamin hak-hak korban adalah tanggung jawab negara dalam menegakkan dan
menghormati HAM. Jika tidak dilakukan maka yang terjadi adalah adanya akumulasi
terhadap HAM.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa
manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat
diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia
akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia.
Mekanisme
penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip
exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional
(Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc
sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang
bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum
nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/pppuu_1ham.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar