Jumat, 17 Oktober 2014

makalah pengadilan hak asasi manusia


disusun oleh : Siti Nurjannah
semoga dapat membantu ^_^

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah suatu hak yang dimiliki oleh seseorang yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Di dalam kalangan masyarakat dan negara-negara tertentu tidak terkecuali Indonesia kadang menimbulkan kecurigaan, ketidak mengertian bahkan menimbulkan antipati terhadap penerimaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan persepsi yang masih tersisa ini yang membuat masyarakat tersebut seolah apriori difunsif di dalam beberapa hal berkaitan penerimaannya terhadap Hak Asasi Manusia. Sikap ini cukup wajar dan merupakan masalah-masalah yang cukup serius dan bahkan menjadi penghambat perjalanan hak asasi manusia yang kini berkembang dan menjadi masalah yang sangat penting. Karena, konsep Hak Asasi Manusia menempatkan manusia pada posisi multi dimensional seperti yang disepakati dalam Deklarasi Wina (1993) bahwa manusia adalah sebagai sentral dalam pembangunan (the human person is the central subject of development).
Istilah hak asasi merupakan terjemahan dari droit de l’homme (Prancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia istilah hak asasi lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi” sebagai terjemahan dari Basic Right (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Prancis tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga prancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite. Namun demikian, sebenarnya masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan manusia di permukaan bumi.
Jika berbicara mengenai hak asasi manusia dewasa ini tentu tak terlepas dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terutama hak-hak politik. Politik merupakan bagian dari demokrasi yang mana sekarang ini sedang digalakkan untuk menciptakan negara yang benar-benar berdasarkan demokrasi. Hak seseorang untuk ikut dalam suatu kegiatan politik telah diatur dalam beberapa pasal dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa seseorang berhak untuk dipilih dan memilih sebagai salah satu esensi dari negara demokrasi. Dengan demikian, pengakuan terhadap aspek-aspek demokrasi terutama dalam hal politik merupakan hal yang diterima dalam aturan-aturan baik nasional maupun internasional mengenai hak-hak asasi manusia. Namun jika dilihat kenyataannya, tidak semua orang mendapatkan kesempatan dalam hal politik. banyak orang yang berusaha untuk membuat negara ini maju malah terhalangi oleh mekanisme yang berbelit-belit dan sangat sulit sehingga tidak mampu lagi untuk melanjutkannya. Salah satu hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah adanya proses kolusi dalam pelaksanaan politik yang katanya berdasarkan asas demokrasi tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia juga mengalami hal yang sama. Dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang tersebar ke seluruh penjuru negeri, kurang dari 20 persen yang ditindaklanjuti oleh aparatur penegak hukum. Beberapa lembaga yang menjadi pelindung terhadap pelanggaran semacam itu tampaknya hanya bersikap pasif dalam hal upaya penegakan hak asasi manusia.
Banyak cara untuk menegakkan hak asasi manusia. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan kembali lembaga-lembaga pelindung terhadap HAM yang tertidur beberapa tahun belakangan ini. Dengan adanya lembaga tersebut maka diharapkan mampu menanggulangi banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Indonesia.


B.     Rumusan Masalah
Bagaimana upaya penengakan kasus HAM di pengadilan?

C.       Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana upaya penengakan kasus HAM di pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian dan Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut sebagai human right, dan dipahami banyak orang secara keliru. HAM hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, HAM lebih luas daripada kebebasan atau kebebasan itu hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik HAM lebih mudah dipahami daripada dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1), HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Dalam pelaksanaanya, Hak Asasi Manusia (HAM) dibagi atas berbagai jenis. Berikut ini pembagian jenis Hak Asasi Manusia dunia, diantaranya:
  1. Hak asasi pribadi / Personal Right
  • Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
  • Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
  • Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
  • Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
  1. Hak asasi politik / Political Right
  • Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
  • Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
  • Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
  • Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
  1. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
  • Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
  • Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
  • Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
  1. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
  • Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
  • Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
  • Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
  • Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
  • Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
  1. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
  • Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
  • Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
  1. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
  • Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
  • Hak mendapatkan pengajaran
  • Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat


B.     Pengadilan HAM
Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia dibentuk berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Untuk daerah khusus ibu kota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Adapun tugas dan wewenag pengadilan HAM adalah sebagai berikut:
1.    Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
2.    Memriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara RI oleh WNI
3.    Pengadilan HAM tidak berwenang mengadili seseorang yang berumur di bawah 18 tahun

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang pengadilan HAM
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
  3. Perbudakan adalah status atau kondisi seseorang yang terhadapnya dilakukan sesuatu atau semua kekuasaan yang berasal dari hak kepemilikan.
  4. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Pertama Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dibentuk di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan di Kota atau Ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III LINGKUP KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berupa :
a.    pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau fisik dengan :
    1. melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut;
    2. melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat pada anggota kelompok;
    3. menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik;
    4. memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau
    5. memindahkan dengan paksa anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.
b.    pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan;
c.    penghilangan orang secara paksa;
d.   perbudakan;
e.    diskriminasi yang dilakukan secara sistematis;
f.     penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Pasal 5

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun.

Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dan c, di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.

Pasal 7

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan berupa perbudakan atau melakukan perbuatan diskriminasi yang dilakukan secara sistematis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 8
Setiap pejabat yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f dipidana dengan pidanan mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.
Pasal 9
  1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia dan atau ahli warisnya berhak mendapatkan ganti kerugian.
  2. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN PERKARA
Bagian Pertama Penyidikan
Pasal 10
  1. Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
  2. Dalam hal-hal tertentu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk suatu Tim yang bersifat Ad Hoc.
Pasal 11
  1. Hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan penyidikan.
  2. Hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bukti permulaan yang cukup untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan.
  3. Dalam hal hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh penyidik dinilai masih kurang lengkap penyelidik wajib melengkapi.

Bagian Kedua: Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 12
Penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh dan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 13
  1. Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib diselesaikan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima.
  2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
  3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyidikan belum selesai, wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
  4. Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dilakukan kembali apabila ditemukan bukti baru.
Pasal 14
Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pasal 15
Dalam hal tidak terdapat alasan yang cukup kuat untuk mengajukan perkara pelanggara hak asasi manusia ke pengadilan, Jaksa Agung dapat melakukan penghentian penuntutan atau pengesamping perkara.
Pasal 16
Komisi, Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 17
Ketentuan mengenai kewenangan atasan yang berhak menghukum dan perwira penyerah perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketiga: Pemeriksaan Perkara
Pasal 18
  1. Pengadilan Hak Asasi Manusia memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan Hakim Majelis.
  2. Dalam hal tertentu, pada Pengadilan, Hak Asasi Manusia dapat diangkat Hakim Ad Hoc.
  3. Pengangkatan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan atas usul Ketua Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 19
Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat dimintakan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal 20
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia dilakukan dengan ketentuan hukum acara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 21
Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggarran hak asasi manusia di luar kehadiran terdakwa.
Pasal 22
Untuk pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluarsa.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
  1. Untuk pertama kali pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Pengadilan Negeri Jakar ta Pusat.
  2. Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonensia.
Pasal 24
Terhadap pelanggara hak asasi manusia yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah Pengganti Udang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonensia.

   
                 Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang mengadili Pelanggaran HAM yang berlaku sebalum di undangkannya UU No. 26 tahun 2000. pengadilan HAM Ad Hoc di bentuk atas usul DPR dengan keputusan Presiden.  Adapun pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh pengadilan HAM berupa: Kejahatan Genosida, kejahatan terhadap kemanusian.

C.     Hambatan Dan Tantangan Pengadilan Dalam Menengakkan HAM
1.    Hambatan
       Masalah HAM masih saja di bicarakan, karena masih banyak pelanggaran atau kepalsuan. Masalah HAM memang masalah kemanusiaan berarti terkait dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan tetapi yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaanyang dimiliki setiap orang dapat dimiliki oleh setiap individu tanpa beda. Upaya penegakan HAM di Indonesia, masih banyak hambatan-hambatan yang di hadapi antara  lain sebagai berikut:
a.    Rendahnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan pelanggaran HAM yang terjadi baik mengenai dirinya maupun pihak lain.
b.    Belum optimalnya kemampuan para hakim di peradilan HAM ad hoc.
c.    Keterbatasan kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM.
d.   Masalah hakim,ternyata tidak begitu mudah menentukan para calon hakim ad hoc diluar hakim karir, meskipun sampai sekarang sudah begitu lantang orang berbicara tentang pelanggaran HAM dan banyak pelatihan dan penanaman HAM. LSM HAM pun ternyata tak banyak yang tersrdia. Banyak tokoh-tokoh HAM yang terikat oleh tugas dilembaga lain.
e.    Sulitnya mencari Jaksa sebagai penuntut umum sebab hanya orang yang berpengalaman penuntut saja yang diangkut atau kata lainnya sifatnya tertutup.
f.     Masalah pembahasan acara peradilan yang belum tuntas, masih tersisa pertanyaan banding dan langsung saja dari peradilan tingkat pertama langsung ke MA.


2.    Tantangan
Dalam menegakkan HAM, selain hambatan masih banyak tantangan yang di hadapi antara lain sebagai berikut:
a.    Dengan disahkannya UU no 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ditegaskan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi sebelum UU No 26 disahkan tidak dapat diadili berdasarkan prinsip hak asasi manusia, sehingga peristiwa pelanggaran HAM yang besar tidak mungkin lagi dapat diselesaikan berdasarkan peradilan HAM ad hoc, misalnya;
1)   Kasus penembakan mahasiswa Trisakti pada bulan Mei 1998
2)   Pembantaian warga muslim Tanjung Priuk pada bulan 1994
3)   Kasus Pembantai di Ambon dan di Poso tahun 1997
1.      Dengan adanya amandemen UUD 45 Pasal 28 tentang larangan hukum berlaku surut memungkinkan para tersangka luput dari proses hukum acara,akan sangat tidak adil hukum itu.
2.      Asas mengatur bahwa orang yang telah dihukum oleh pengadilan HAM tidak dapat lagi dituntut oleh pengadilan pidana biasa. Namun keterbatasan lingkup pengadilan HAM yang haknya sebatas pada genosida (pembantaian masal) dan kejahatan melawan kemanusiaan, mengakibatkan ada unsur-unsur yang tidak terpenuhi.


D.     Penegakan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia
Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropa. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Realitas sosial berbagai kasus pelanggaran berat HAM, penyelesaiannya seringkali tidak berpihak kepada korban, sebaliknya penyelesaiannya dilakukan justru untuk melindungi pelaku, seperti pemberian amnesti yang dilakukan oleh para penguasa militer di Argentina dan Chili pada tahun 1970-an.
Walaupun telah dilakukan berbagai upaya yang mengatur prinsip-prinsip HAM, namun pembatasan dan pelanggaran terhadap HAM terus terjadi.
Di Indonesia sendiri, pelanggaran HAM berat yang melibatkan Dewan Keamanan PBB, salah satunya adalah persoalan kekerasan di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur, Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM. Di samping itu telah diatur pula tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat HAM.
Yurisdiksi atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000). Akan tetapi pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun. Kalaupun anak yang bersangkutan melakukan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian, tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan didasari KUHP dan KUHAP.
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili. Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah:
1.    Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;
2.    Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3.      Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4.     Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.
Peradilan HAM harus berdiri sendiri (independen) sejajar dengan Mahkamah Agung, karena yang akan diadili dalam pengadilan HAM tersebut adalah Para Penguasa, para Pembuat Kebijakan yang melakukan penindasan terhadap kemanusiaan. Jika Peradilan HAM masih berada di bawah Peradilan Umum, maka yang terjadi adalah pembodohan hukum. Ibarat makan buah simalakama, tidak dimakan bapak mati jika dimakan ibu mati, akhirnya banyak kasus-kasus pelanggaran berat HAM terkatung-katung dan raib tanpa ujung. Kebijakan menempatkan pengadilan HAM berada di bawah lingkup pengadilan umum, sama saja artinya kita memandang pelanggaran HAM sebagai kejahatan biasa seperti pembunuhan, pencurian, penganiayaan dan sebagainya.
Fiedman berkata bahwa sistem hukum dibangun atas 3 landasan dasar utama, yaitu: strutural, substansi dan budaya hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum dengan prinsip the rule of law, mestinya benar-benar membangun hukum atas 3 landasan dasar tersebut, dibarengi dengan mekanisme kontrol baik secara internal ataupun eksternal. Dosa terbesar yang pernah dibuat bangsa ini adalah menjadikan hukum sebagai kepentingan dan alat untuk rekayasa sosial tanpa dilandasi “behavior” yang baik, sehingga kita menjadi pecundang, pengkhianat keadilan terhadap manusia dan kemanusiaan. Upaya agar HAM tetap dihormati, tidak dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara nasional, regional maupun internasional, maka penegakan hukum melalui mekanisme peradilan baik nasional maupun internasional adalah langkah bijak terhadap penghormati HAM. Baik di tingkat nasional, regional maupun internasional, peradilan HAM adalah peradilan khusus, menyangkut instrumen khususnya maupun institusi dan proses peradilannya. Hal ini dikarenakan pelanggaran atau kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi merupakan Extra Ordinary Crime. Pelanggaran berat HAM dikatakan Extra Ordinary Crime, disebabkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
1.    Pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh.
2.    Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.
3.    Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar penegakan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena kalau dulu pelanggaran HAM sering ditujukan kepada hak Sipol, maka sekarang pelanggaran HAM yang paling berbahaya adalah pelanggaran HAM di bidang Ekosob, karna berdampak secara global dan menyeluruh, perlahan tapi pasti menggerogoti seluruh sendi kehidupan, baik makro maupun mikro organisme, baik yang tersentuh langsung atau pun tidak langsung, akan ikut memikul beban risiko dari pelanggaran HAM tersebut.
Sangat diharapkan kedepannya penegakan hak asasi manusia dapat berjalan dengan baik dengan mengutamakan hak-hak korban, karena menjamin hak-hak korban adalah tanggung jawab negara dalam menegakkan dan menghormati HAM. Jika tidak dilakukan maka yang terjadi adalah adanya akumulasi terhadap HAM.
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia.
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili.










DAFTAR PUSTAKA
http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/pppuu_1ham.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar