RUMAH AMPLOP
Cerpen
Damhuri Muhammad
DI masa kanak-kanak, rumah kami selalu kebanjiran
amplop. Ruang tamu, laci-laci ruang kerja papa, lemari pakaian mama, hingga
rak-rak dapur, penuh-sesak oleh amplop dari berbagai rupa, warna, dan ukuran.
Setelah mama dan papa mengamankan isi dari amplop-amplop yang berserakan itu,
kami akan melepaskan lipatan-lipatan kertasnya, lalu mengguntingnya sesuai
pola-pola yang kami sukai. Dari potongan-potongan kertas bekas amplop itu kami
gemar membentuk huruf-huruf, yang kemudian tersusun sebagai R-E-I-N-A (mama),
S-U-K-R-A (papa), dan nama-nama kami sendiri; Abim, Amru, dan Nuera.
Sepulang sekolah, sepanjang hari, kami asik menggunting-gunting kertas-kertas
bekas amplop, hingga suatu hari kami bersepakat memberi nama tempat tinggal
kami dengan “rumah amplop”. Rumah tempat beralamatnya amplop yang datang dari
berbagai penjuru. Rumah yang makin bercahaya, seiring dengan makin
berhamburannya amplop ke dalamnya.
Barangsiapa
yang dengan sadar dan sengaja menaruh uang alakadar di amplop yang bakal
diantar ke rumah kami, akan membuat papa jadi murka. Urusannya pasti panjang,
dan tentu akan dipersulit. Izin proyek bakal terganjal. Meskipun begitu, setiap
amplop yang sudah tergeletak di rumah kami, mama dan papa pantang
mengembalikannya, hingga pada suatu ketika, para pengirim amplop itu
menyebut kami sebagai “keluarga kecil pemakan segala”. Besar kami makan, kecil
juga kami telan. Seolah-olah mulut mama dan papa begitu besar, bagai mulut
buaya lapar yang senantiasa menganga, menyambut kedatangan amplop-amplop, tapi
selama bertahun-tahun tak pernah mengenyangkan perut mereka.
Bila jalan-jalan
di setiap sudut kota rusak dan berluban g, bahkan ada yang sudah tak layak
tempuh, itu bukan karena ulah mobil-mobil besar yang kerap melindasnya, tapi
karena mobil-mobil kecil. Betapa tidak? Setiap kali papa terlibat dalam proyek
pembangunan jalan, mama akan merengek-rengek manja minta hadiah mobil mewah
keluaran terbaru. Dan, atas nama cintanya, diam-diam papa akan memerintahkan
pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal, memendekkan jalan yang
seharusnya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh, dan semua hasil
penyunatan anggaran itu ia gunakan untuk membeli mobil mewah permintaan mama.
Bukankah sedan itu mobil berukuran kecil? Nah, itu sebabnya kami katakan bahwa
yang merusak jalan bukan truk atau bis, tapi koleksi mobil mewah yang kini
terparkir di garasi rumah kami. Papa punya Jaguar, Nuera punya Alphard lengkap
dengan sopir pribadi, Abim punya Range Rover, Amru punya Jeep Rubicon, dan mama
punya Mercedes Benz.
***
Dulu, papa
orang baik-baik. Anak patuh. Cerdas. Jujur. Bertanggungjawab. Setidaknya begitu
cerita yang kami dengar dari salah seorang kerabat saat kami diajak
pulang kampung. Namun, selepas menyandang gelar sarjana dari sebuah universitas
ternama, nenek dan kakek terus-menerus mendorong agar ia bisa menjadi pegawai
negeri sipil. Sebab, di kampung papa, cita-cita menjadi abdi-negara
hampir-hampir sama mulianya dengan cita-cita masuk sorga di akhirat kelak.
Selain hidup bakal terjamin, barangsiapa yang telah mengantongi SK pegawai
negeri sipil, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan selekasnya naik-kasta.
Dari keluarga yang biasa-biasa saja, berubah menjadi keluarga yang berlimpah
puji dan puja. Oleh karena itu, nenek melelang harta-benda, tiga kapling
tanah warisan, lima bidang ladang, mengumpulkan uang pelicin guna meluluskan
anaknya sebagai pegawai negeri. Menggunakan segala cara adalah sah demi
cita-cita luhur itu.
Menurut Wak
Odang (kakak kandung nenek), sejak peristiwa suap yang dilakukan secara
buka-bukaan itu, silsilah papa sebagai orang baik-baik dipenggal. Watak
kebaikan dalam diri papa telah disembelih. Bukan oleh orang lain,
tapi oleh ibu-bapaknya sendiri. Tak lama selepas nenek menjual
tanah warisan, lalu menyuap pejabat yang berwenang, terjadi perselisihan
hebat antara Wak Odang dan keluarga papa, yang hingga kini hampir-hampir
tak terdamaikan. Dulu, Wak Odang amat bangga pada prestasi-prestasi yang diraih
papa. Betapa tidak? Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah, keponakan
kesayangannya itu selalu terpilih sebagai siswa teladan. Predikat juara umum
tak pernah lepas dari tangannya. Begitu pula ketika papa menjadi mahasiswa di
kampus terkemuka di Jawa. Setiap pencapaian terbaik papa senantiasa menjadi
tauladan bagi anak-anak Wak Odang. “Sukra satu-satunya anak kampung kita yang
bisa diterima di perguruan tinggi terkemuka di Jawa,” begitu Wak Odang
memujinya.
Wak
Odang marah besar lantaran perbuatan menyuap yang dilakukan adik
kandungnya, guna meloloskan papa menjadi pegawai negeri.
“Maaf, Bang, ini
kesempatan kita. Bila tidak sekarang kapan lagi? Mumpung ada yang bisa
membantu,” dalih nenek waktu itu.
“Kesempatan untuk
menjerumuskannya, maksudmu?”
“Demi masa depan
Sukra, Bang!”
“Tahu apa kau soal
masa depan? Ia bisa mencapai lebih dari apa yang kalian bayangkan!”
“Maaf, kami sudah
sepakat, Bang!”
“Bersekongkol untuk
menghancurkan masa depannya? Tak akan selamat hidupnya. Yang bermula dari
ketidakjujuran akan berakhir dengan ketidakjujuran pula. Tanggunglah akibatnya
nanti!” bentak Wak Odang.
Selepas
perseteruan itu, Wak Odang tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarga papa.
Lantaran tidak berhasil membendung ambisi nenek dan kakek, ia mundur teratur.
Apapun urusan keluarga besar papa ia tak pernah ikut campur lagi. Kakak-beradik
telah pecah-kongsi, sudah berkerat-rotan, begitu orang-orang kampung menyebutnya.
Sukra, keponakan yang sangat disayanginya, dibanggakannya, kini harus
dilupakannya. Setinggi apapun pangkat dan golongan papa, sebesar apapun
pengaruh papa, seberapa pun melimpahnya kekayaan papa, Wak Odang tiada pernah
tergiur. Tanah warisan dan ladang yang dulu terjual kini memang sudah diganti,
nenek dan kakek sudah dinaik-hajikan, rumah di kampung direhab hingga menjadi
begitu megah untuk ukuran rumah kampung, karib-kerabat yang sedang terpuruk
hidupnya terus disantuni. Sudah tak terhitung banyaknya bantuan dan sumbangan
yang diberikan papa untuk orang-orang di kampung. Sekolah dibangun, masjid
direnovasi, jalan diperbaiki, hingga nama papa begitu harum. Dermawan, pemurah,
dan baik hati. Meski berkarir di kota, menjadi orang besar dan kaya-raya, papa
tak lupa pada tanah asal.
Namun, tidak
demikian halnya dengan Wak Odang, yang nyaris tak pernah berubah nasibnya.
Tubuhnya perlahan-lahan remuk digasak penyakit tua. Dirawat istri dan
anak-anaknya dengan pengobatan seadanya. Berkali-kali papa dan mama datang
mengunjunginya, menawarkan bantuan, agar Wak Odang dapat berobat secara layak,
tapi ia selalu menolak. “Ajalku akan lebih cepat bila berobat dengan uang subhat-mu
itu,” kata Wak Odang sambil terbatuk-batuk. Ia benar-benar telah menutup segala
pintu bagi papa, keponakan kesayangannya. Sepeser pun Wak Odang tak sudi
mencicipi kekayaan papa. Wak Odang seolah-olah tahu dari mana sumber
keberlimpahan di rumah amplop kami. Di matanya, kami lebih kotor dari najis,
yang akan membatalkan wudhu’nya. Kami sangat malu bertemu
dengannya.
***
Namun, rumah
amplop kini sudah sepi. Tiada pernah kedatangan amplop lagi, sebagaimana dulu.
Kemarau dari riuh suara masa kanak-kanak kami. Barangkali ia sudah tak layak
disebut rumah amplop. Entah ke mana menghilangnya huruf-huruf dari bekas kertas
amplop, mainan masa kecil kami. Mungkin sudah dibuang mama, lalu masuk ke
karung-karung para pemulung. Sudah lama kami tak menginjakkan kaki di sana.
Penghuninya hanya mama, satu orang pembantu, dan seorang tukang kebun. Setahun
lalu, papa mengajukan permohonan pensiun muda. Ia ingin berkiprah membangun
kampung halamannya. Sebagai putra daerah, papa ambil bagian dalam pemilihan
Walikota. Dari desas-desus yang kami dengar, papa disebut-sebut sebagai calon
kuat. Tim sukses dan para simpatisan berani menjamin kemenangan papa, tapi
dengan satu persyaratan ringan; ia harus punya istri dari tanah asalnya
sendiri. Agar predikat papa sebagai putra daerah semakin sempurna, hingga dapat
menangguk sebanyak-banyaknya suara. Maka, tanpa ragu-ragu, papa mempersunting
gadis desa bernama Nurjannah, seusia anaknya. Berbuih-buih mulut papa
meyakinkan mama bahwa pernikahan itu tak lebih dari pernikahan sandiwara demi
mendulang suara, agar ia memenangkan pemilihan Walikota. Entah karena jengkel,
atau barangkali karena sangat maklum pada watak kemaruk papa, mama menyikapinya
dengan amat santai. “Silahkan saja. Tapi sebaiknya kita berpisah saja!”
Sebagai
Walikota terpilih, kini papa menggandeng Nurjannah, perempuan muda itu, ke
mana-mana. Bukan saja dalam urusan-urusan kedinasan, tapi juga urusan
bersenang-senang dan berbelanja ke Jakarta. Bersama istri muda, papa membangun
“rumah amplop” kedua dalam sejarah hidupnya. Ganjilnya, mama sama sekali tak
terguncang oleh kegilaan papa. Lagi pula, tampaknya mama sudah bosan menjadi
istri dari suami yang setiap hari disumpah-sumpahi banyak orang. Kami pikir
inilah kesempatan mama melepaskan diri dari genggaman papa. Kami, anak-anaknya,
sudah dewasa. Sudah punya dunia masing-masing.
Mama tak ingin
ke mana-mana, ia hanya ingin istirahat di kota ini, di rumah amplop ini, dan
pensiun sebagai istri birokrat keparat. Aku, Abim, dan Amru juga tak menggubris
pernikahan papa. Amru, adikku, hanya bilang: “silsilah Papa sebagai lelaki
setia telah terpenggal sejak ia menceraikan Mama.” Itu mengingatkan kami pada
luapan kemarahan Wak Odang di masa silam: “silsilah Sukra sebagai anak
baik-baik telah terpenggal sejak ia dipegawai-negerikan dengan uang pelicin”.
Sebagaimana Wak Odang, kami juga telah menutup segala pintu bagi kedatangan
papa, seberapa besar pun rasa kangen kami padanya. Kami sudah rela kehilangan
papa. Begitulah sejarah kecil para penghuni rumah amplop. Dulu, para pengirim
amplop diam-diam menyebut papa sebagai manusia pemakan segala, kini papa
sering digunjingkan teman-teman arisan mama sebagai penjahat pemanjat
segalanya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar